Dalam kasus beberapa
negara, terlihat bahwa globalisasi mau tidak mau akan membawa dampak baik
positif maupun negatif terhadap negara-negara di dunia ketiga. Masalah
pembangunan adalah isu sentral dalam globalisasi. Perdebatan tentang
globalisasi ini dapat dilihat dalam Giddens (1995), yaitu budaya politik sampai
konsep keluarga.
Dalam konteks budaya
Giddens mencontohkan pergeseran tradisi karena modernisasi. Tradisi adalah
hasil dari proses penciptaan manusia dimana faktor kekuasan sangat memegang
peran terhadap perubahan tersebut. Para pemimpin, Kaisar, Raja bahkan pemuka
agama menciptakan tradisi untuk membenarkan diri mereka sendiri dan membangun
legitimasi bagi kekuasaannya.
Realitas dunia
melahirkan beberapa kombinasi antara tradisi dengan ilmu pengetahuan. Banyak
kasus seperti di India pada tahun 1995. Pada saat itu dibangun opini bahwa para
dewa juga meminum susu implikasinya adalah pada hari itu dan hari kemudian
terjadi sebuah fenomena dimana banyak orang yang mempersembahkan susu dihadapan
patung atau gambar dewa-dewi. Teknologi dan pengaruh para pemuka agama
menjadikan ketika fenomena pemberian susu menjadi sebuah tradisi baru.
Ada juga kasus,
dimana tradisi tunduk terhadap modernisasi. Dalam kasus ini terjadi
desakralisasi tradisi, sehingga tradisi menjadi sangat kering dan
dikomersialisasikan. Tumbuhnya globalisasi yang memicu industrialisasi telah
menghasilkan produk-produk tradisi menjadi ‘hanya’ sekedar oleh-oleh atau
simbol kebudayaan suatu bangsa. Fenomena ini menjelaskan bahwa pertama tradisi
hanyalah menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan untuk membangun nasionalisme
semu atau jati diri semu dari suatu bangsa. Kedua tradisi telah dikalahkan oleh
kebutuhan negara untuk mendapatkan devisa yang besar dengan dalih ‘menjaga
tradisi-tradisi luhur’ bangsa.
Desakralisasi ini
menumbuhkan perilaku fundamentalisme dan pragmatisme. Dalam kacamata
pragmatisme tradisi hanyalah suatu obyek untuk mengenalkan budaya bangsa
terhadap dunia luar. Sedangkan fundamentalisme berusaha untuk menjaga
nilai-nilai dari tradisi agar tidak tercabut dari akarnya. Fundamentalisme ini
menghasilkan semangat puritan di beberapa tempat yang akhirnya menciptakan
gerakan anti westernisasi.
Dalam kebijakan dan
teori ekonomi pembangunan, dapat dilihat implikasi teori pembangunan terhadap
negara dunia ketiga atau negara-negara selatan. Implikasi kebijakan pembangunan
ini dapat dipetakan secara lebih mikro untuk ukuran benua. Negara-negara di
Amerika Latin termasuk negara-negara yang memiliki hutang besar pada bank-bank
internasional, kondisi ini disebabkan kebijakan penguasa yang tidak
menghasilkan peningkatan kapasitas produktif. Negara-negara Amerika Latin lebih
cenderung untuk berhadapan dengan kondisi internalnya sendiri, seperti masalah
demokratisasi yang berhadapan dengan diktator militer. Setelah kediktatoran
hancur, dilema baru datang yaitu kebijakan ekonomi yang tidak diikuti dengan
kebijakan politik. Sehingga negara-negara ini membutuhkan “dokter” yang dapat
menyembuhkan mereka, dokter itu adalah IMF.
Implikasi dari
industrialisasi membuat negara-negara di Afrika harus mengejar GNP dan devisa
negara. Rostowian telah membuat syarat yaitu stabilisasi politik dan keamanan.
Sehingga anggaran negara lebih banyak diutamakan dalam membangun kekuatan
militer. Untuk itu banyak negara-negara di Afrika yang menggenjot
industrialisasi dan mencoba membangun ketahanan pangan. Revolusi hijau telah
membuat keberhasilan semu dalam peningkatan jumlah pangan. Keberhasilan dari
industrialisasi dan modernisasi (plus stabilisasi) membuat negara-negara Afrika
‘berhasil’ dalam penggenjotan devisa. Namun, kondisi ini ternyata menyempitkan
jumlah petani dan eksplorasi tanah. Industrialisasi dan modernisasi telah
memakan korbannya kembali.
Kasus di Asia banyak
sekali permasalahan pangan dan hutang negara. Fenomena yang paling mendasar
selain kedua masalah di atas adalah masalah etnis. Kasus etno politik seperti
di Sri Lanka, Tibet, Kashmir dan Ambon telah menjadikan kasus ini menjadi akut.
Paradigma pembangunan yang menjadi masalah dalam konteks ini adalah perubahan
dari ekonomi non dinamis yang diregulasi dan diproteksi dimana keberpihakan
penguasa pada salah satu etnis menjadikan sistem ekonomi tidak lancar. Kasus
ini memicu disintegrasi sosial, sehingga dibutuhkan kembali identifikasi etnis,
jati diri bangsa dan territorial.
ASEAN komponen
organisasi internasional yang beranggotakan negara-negara di kawasan Asia
Tenggara mempunyai hubungan politik, geografis dan budaya. Masalah etnis dan
hutang negara telah menjadi maslaha bersama. Untuk kasus etnis terdapat maslaah
antara etnis dengan penguasa negara, seperti etnis Pattani di Thailand, Moro di
Filipina, Melayu dan India di Singapura, Jawa, Bugis di beberapa tempat dalam
kawasan Indonesia. Penyikapan masalah hutang negara juga sangat berbeda. IMF
sangat bermain kuat di Indonesia dan Thailand, padahal kesadaran arus bawah
terhadap perilaku IMF yang merugikan negara ini sudah jelas. Rejim Thailand
yang baru sudah berani untuk mengungkapkan bahwa kebutuhan akan kembali ke
identitas nasional dan menolak secara halus IMF.
Malaysia dengan
Mahathir sudah dengan tegas menolak IMF. Strategi yang dibangun oleh Malaysia
adalah mengurangi pengeluaran negara sebesar 18 %, menurunkan tingkat
pertumbuhan ekonomi dari 7 % menjadi 4-5 %, memperbesar dukungan terhadap
industri kecil dan menengah, memproteksi invenstor dalam negeri untuk melakukan
investasi di luar negeri, menggenjot pertumbuhan sektor pangan. Keberanian
Mahathir yang di dukung warga Malaysia dengan menolak MF dan Soros. Sehingga
Soros menjadi sangat berang dan melakukan klarifikasi bahwa yang dibuatnya
hanyalah sebuah bisnis semata dan tuduhan Mahathir tidak berdasar. Soros juga
meramalkan kejatuhan Mahathir dalam waktu dekat, walaupun sampai hari ini belum
terjadi secara riil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar