Rabu, 16 Oktober 2013

Implikasi Globalisasi Politik Terhadap Negara Dunia Ketiga



Dalam kasus beberapa negara, terlihat bahwa globalisasi mau tidak mau akan membawa dampak baik positif maupun negatif terhadap negara-negara di dunia ketiga. Masalah pembangunan adalah isu sentral dalam globalisasi. Perdebatan tentang globalisasi ini dapat dilihat dalam Giddens (1995), yaitu budaya politik sampai konsep keluarga.
Dalam konteks budaya Giddens mencontohkan pergeseran tradisi karena modernisasi. Tradisi adalah hasil dari proses penciptaan manusia dimana faktor kekuasan sangat memegang peran terhadap perubahan tersebut. Para pemimpin, Kaisar, Raja bahkan pemuka agama menciptakan tradisi untuk membenarkan diri mereka sendiri dan membangun legitimasi bagi kekuasaannya.
Realitas dunia melahirkan beberapa kombinasi antara tradisi dengan ilmu pengetahuan. Banyak kasus seperti di India pada tahun 1995. Pada saat itu dibangun opini bahwa para dewa juga meminum susu implikasinya adalah pada hari itu dan hari kemudian terjadi sebuah fenomena dimana banyak orang yang mempersembahkan susu dihadapan patung atau gambar dewa-dewi. Teknologi dan pengaruh para pemuka agama menjadikan ketika fenomena pemberian susu menjadi sebuah tradisi baru.

Ada juga kasus, dimana tradisi tunduk terhadap modernisasi. Dalam kasus ini terjadi desakralisasi tradisi, sehingga tradisi menjadi sangat kering dan dikomersialisasikan. Tumbuhnya globalisasi yang memicu industrialisasi telah menghasilkan produk-produk tradisi menjadi ‘hanya’ sekedar oleh-oleh atau simbol kebudayaan suatu bangsa. Fenomena ini menjelaskan bahwa pertama tradisi hanyalah menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan untuk membangun nasionalisme semu atau jati diri semu dari suatu bangsa. Kedua tradisi telah dikalahkan oleh kebutuhan negara untuk mendapatkan devisa yang besar dengan dalih ‘menjaga tradisi-tradisi luhur’ bangsa.
Desakralisasi ini menumbuhkan perilaku fundamentalisme dan pragmatisme. Dalam kacamata pragmatisme tradisi hanyalah suatu obyek untuk mengenalkan budaya bangsa terhadap dunia luar. Sedangkan fundamentalisme berusaha untuk menjaga nilai-nilai dari tradisi agar tidak tercabut dari akarnya. Fundamentalisme ini menghasilkan semangat puritan di beberapa tempat yang akhirnya menciptakan gerakan anti westernisasi.

Dalam kebijakan dan teori ekonomi pembangunan, dapat dilihat implikasi teori pembangunan terhadap negara dunia ketiga atau negara-negara selatan. Implikasi kebijakan pembangunan ini dapat dipetakan secara lebih mikro untuk ukuran benua. Negara-negara di Amerika Latin termasuk negara-negara yang memiliki hutang besar pada bank-bank internasional, kondisi ini disebabkan kebijakan penguasa yang tidak menghasilkan peningkatan kapasitas produktif. Negara-negara Amerika Latin lebih cenderung untuk berhadapan dengan kondisi internalnya sendiri, seperti masalah demokratisasi yang berhadapan dengan diktator militer. Setelah kediktatoran hancur, dilema baru datang yaitu kebijakan ekonomi yang tidak diikuti dengan kebijakan politik. Sehingga negara-negara ini membutuhkan “dokter” yang dapat menyembuhkan mereka, dokter itu adalah IMF.

Implikasi dari industrialisasi membuat negara-negara di Afrika harus mengejar GNP dan devisa negara. Rostowian telah membuat syarat yaitu stabilisasi politik dan keamanan. Sehingga anggaran negara lebih banyak diutamakan dalam membangun kekuatan militer. Untuk itu banyak negara-negara di Afrika yang menggenjot industrialisasi dan mencoba membangun ketahanan pangan. Revolusi hijau telah membuat keberhasilan semu dalam peningkatan jumlah pangan. Keberhasilan dari industrialisasi dan modernisasi (plus stabilisasi) membuat negara-negara Afrika ‘berhasil’ dalam penggenjotan devisa. Namun, kondisi ini ternyata menyempitkan jumlah petani dan eksplorasi tanah. Industrialisasi dan modernisasi telah memakan korbannya kembali.

Kasus di Asia banyak sekali permasalahan pangan dan hutang negara. Fenomena yang paling mendasar selain kedua masalah di atas adalah masalah etnis. Kasus etno politik seperti di Sri Lanka, Tibet, Kashmir dan Ambon telah menjadikan kasus ini menjadi akut. Paradigma pembangunan yang menjadi masalah dalam konteks ini adalah perubahan dari ekonomi non dinamis yang diregulasi dan diproteksi dimana keberpihakan penguasa pada salah satu etnis menjadikan sistem ekonomi tidak lancar. Kasus ini memicu disintegrasi sosial, sehingga dibutuhkan kembali identifikasi etnis, jati diri bangsa dan territorial.

ASEAN komponen organisasi internasional yang beranggotakan negara-negara di kawasan Asia Tenggara mempunyai hubungan politik, geografis dan budaya. Masalah etnis dan hutang negara telah menjadi maslaha bersama. Untuk kasus etnis terdapat maslaah antara etnis dengan penguasa negara, seperti etnis Pattani di Thailand, Moro di Filipina, Melayu dan India di Singapura, Jawa, Bugis di beberapa tempat dalam kawasan Indonesia. Penyikapan masalah hutang negara juga sangat berbeda. IMF sangat bermain kuat di Indonesia dan Thailand, padahal kesadaran arus bawah terhadap perilaku IMF yang merugikan negara ini sudah jelas. Rejim Thailand yang baru sudah berani untuk mengungkapkan bahwa kebutuhan akan kembali ke identitas nasional dan menolak secara halus IMF.

Malaysia dengan Mahathir sudah dengan tegas menolak IMF. Strategi yang dibangun oleh Malaysia adalah mengurangi pengeluaran negara sebesar 18 %, menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi dari 7 % menjadi 4-5 %, memperbesar dukungan terhadap industri kecil dan menengah, memproteksi invenstor dalam negeri untuk melakukan investasi di luar negeri, menggenjot pertumbuhan sektor pangan. Keberanian Mahathir yang di dukung warga Malaysia dengan menolak MF dan Soros. Sehingga Soros menjadi sangat berang dan melakukan klarifikasi bahwa yang dibuatnya hanyalah sebuah bisnis semata dan tuduhan Mahathir tidak berdasar. Soros juga meramalkan kejatuhan Mahathir dalam waktu dekat, walaupun sampai hari ini belum terjadi secara riil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar